•7:08 AM
Sejarah Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh, dan merupakan kerajaan
Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini didirikan oleh Meurah Silu pada tahun
1267 M. Bukti-bukti arkeologis keberadaan kerajaan ini adalah ditemukannya
makam raja-raja Pasai di kampung Geudong, Aceh Utara. Makam ini terletak di
dekat reruntuhan bangunan pusat kerajaan Samudera di desa Beuringin, kecamatan
Samudera, sekitar 17 km sebelah timur Lhokseumawe. Di antara makam raja-raja
tersebut, terdapat nama Sultan Malik al-Saleh, Raja Pasai pertama. Malik
al-Saleh adalah nama baru Meurah Silu setelah ia masuk Islam, dan merupakan
sultan Islam pertama di Indonesia. Berkuasa lebih kurang 29 tahun (1297-1326
M). Kerajaan Samudera Pasai merupakan gabungan dari Kerajaan Pase dan Peurlak,
dengan raja pertama Malik al-Saleh.
Kapan sebenarnya Kerajaan Islam Samudera Pasai berdiri tidak ada
suatu kepastian tahun yang didapat. Para peminat dan ahli sejarah masih belum
bisa memperoleh suatu kesepakatan mengenai hal ini. Menurut tradisi dan
berdasarkan penyelidikan atas beberapa sumber sementara , terutama yang
dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat khususnya para sarjana Belanda sebelum
perang seperti Snouck Hurgronye, J.P. Moquette, J.L. Moens, J. Hushoff Poll,
G.P. Rouffaer, H.K.J. Cowan, dan lain-lain, menyebutkan, bahwa Kerajaan Islam
Samudera Pasai baru berdiri pada pertengahan abad ke XIII. Dan sebagai pendiri
kerajaan ini adalah Sultan Malik As Salih yang meninggal pada tahun 1297.
Selain pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana Belanda itu,
baik dalam seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia yang berlangsung di
Medan sejak tanggal 17 s/d 20 Maret 1963, maupun dalam seminar Masuk dan
Berkembangnya Islam di Daerah Istimewa Aceh yang berlangsung di Banda Aceh pada
tanggal 10 s/d 16 Juli 1978, oleh beberapa sejarawan dan cendikiawan Indonesia
(diantaranya Prof. Hamka, Prof. A.Hasjmy, Prof. H.Aboe Bakar Atjeh, H. Mohammad
Said dan M.D. Mansoer) yang ikut serta dalam kedua seminar tersebut telah pula
melontarkan beberapa pendapat dan dalil-dalil baru yang berbeda dengan yang
lazim dikemukakan oleh para sarjana Belanda seperti tersebut di atas.
Berdasarkan beberapa petunjuk dan sumber-sumber baru yang mereka
kemukakan diantaranya keterangan-keterangan para musafir Arab tentang Asia
Tenggara dan dua buah naskah lokal yang diketemukan di Aceh yaitu, “Idhahul Hak
Fi Mamlakatil Peureula” karya Abu Ishak Al Makarany dan Tawarich Raja-raja
Kerajaan Aceh ,mereka berkesimpulan bahwa Kerajaan Islam Samudera Pasai sudah
berdiri sejak abad ke XI M, atau tepatnya pada tahun 433 H (1042 M). Dan
sebagai pendiri serta sultan yang pertama dari kerajaan ini adalah Maharaja
Mahmud Syah, yang memerintah pada tahun 433-470 H atau bertepatan dengan tahun
1042-1078 M.
Atas dasar peninggalan-peninggalan dan penemuan-penemuan dari
hasil penggalian dan yang dilakukan oleh Dinas Purbakala Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia, dapat diketahui bahwa lokasi kerajaan ini di
daerah yang dewasa ini dikenal dengan nama Pasai. Yaitu suatu daerah di pantai
Timur Laut Pulau Sumatera yang terletak antara dearah Peusangan dengan Sungai
Jambo Aye di kabupaten Aceh Utara, Propinsi Daerah Istimewa Aceh. G.P.
Rouffaer, salah seorang sarjana Belanda yang menyelidiki tentang kerajaan ini
menyatakan bahwa Pasai mula-mula terletak di sebelah kanan Sungai Pasai,
sedangkan Samudera berada di sebelah kirinya, tetapi lama kelamaan Samudera dan
Pasai ini menjadi satu dan disebut Kerajaan Samudera Pasai
Menurut berita-berita luar yang juga diceritakan dalam Hikayat
Raja-raja Pasai kerajaan ini letaknya di kawasan Selat Melaka pada jalur
hubungan laut yang ramai antara dunia Arab, India dan Cina. Disebutkan pula
bahwa kerajaan ini pada abad ke XIII sudah terkenal sebagai pusat perdagangan
di kawasan itu.
Nama Samudera dan Pasai sudah populer disebut-sebut baik oleh
sumber-sumber Cina, Arab dan Barat maupun oleh sumber-sumber dalam negeri
seperti Negara Kertagama (karya Mpu Prapanca, 1365) pada abad ke XIII dan ke
XIV M. Dan tentang asal usul nama kerajaan ini ada berbagai pendapat. Menurut
J.L. Moens, kata Pasai berasal dari istilah Parsi yang diucapkan menurut logat
setempat sebagai Pa’Se. Dengan catatan bahwa sudah semenjak abad ke VII M,
saudagar-saudagar bangsa Arab dan Parsi sudah datang berdagang dan berkediaman
di daerah yang kemudian terkenal sebagai Kerajaan Islam Samudera Pasai .
Pendapat ini adalah sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Prof. Gabriel
Ferrand dalam karyanya (L’Empire, 1922, hal.52-162), dan pendapat Prof. Paul
Wheatley dalam (The Golden Khersonese, 1961, hal.216), yang didasarkan pada
keterangan para musafir Arab tentang Asia Tenggara. Kedua sarjana ini
menyebutkan bahwa sudah sejak abad ke VII M, pelabuhan-pelabuhan yang terkenal
di Asia Tenggara pada masa itu, telah ramai dikunjungi oleh para pedagang dan
musafir-musafir Arab. Bahkan pada setiap kota-kota dagang itu telah terdapat
fondachi-fondachi atau permukiman-permukiman dari pedagang-pedagang yang
beragama Islam. Mohammad Said, salah seorang wartawan dan cendikiawan Indonesia
yang berkecimpung dengan penelitiannya tentang kerajaan ini dan kerajaan Aceh,
dalam prasarannya yang berjudul “Mentjari Kepastian Tentang Daerah Mula dan
Cara Masuknya Agama Islam ke Indonesia, berkesimpulan bahwa istilah PO SE yang
populer digunakan pada pertengahan abad ke VIII M seperti terdapat dalam
laporan-laporan Cina, adalah identik atau mirip sekali dengan Pase atau Pasai.
Sehubungan dengan asal nama kerajaan Samudera Pasai ini, Hikayat
Raja-raja Pasai salah sebuah Historiografi Melayu yang banyak mengandung
unsur-unsur Mythe, Legende, Geneologi dan Sejarah di dalamnya , memberi suatu
keterangan yang berkaitan dengan totemisme, yaitu disebutkan antara lain:
“…pada suatu hari merah Silu pergi berburu. Maka ada seekor anjing
dibawanya akan perburuan Merah Silu itu bernama si Pasai. Maka dilepaskannya
anjing itu lalu menjalak di atas tanah tinggi itu. Maka dilihatnya ada seekor
semut besarnya seperti kucing maka ditangkapnya oleh erah Silu itu lalu
dimakannya. Maka tanah tinggi itupun disuruh Merah Silu tebas pada segala orang
yang sertanya itu. Maka setelah itu diperbuatnya akan istananya. Setelah sudah
maka Merah Silupun duduklah ia di sana dengan segala hulubalangnya dan segala
rakyatnya diam ia di sana maka dinamai oleh Merah Silu negeri Samudera, artinya
semut yang amat besar.
Selanjutnya tentang asal nama Pasai, baik Hikayat Melayu maupun
Hikayat Raja-raja Pasai menyebutkan sebagai berikut:
“…setelah sudah jadi negeri itu maka anjing perburuan yang bernama
si Pasai itupun matilah pada tempat itu. Maka disuruh sultan tanamkan dia di
sana juga. Maka dinamai baginda akan nama anjing nama negeri itu”.
Kalau kita berpegang dari keterangan kedua hikayat yang mithologis
tersebut, maka nama Samudera berasal dari nama seekor semut besar dan nama
Pasai berasal dari nama anjingpiaraan Raja merah Silu, yaitu si Pasai. Hal ini
sangat menarik untuk diselidiki lebih lanjut, sejauh mana terdapat hubungan
antara totemisme dengan usaha pemberian keterangan tentang asal dan arti
kerajaan Islam Samudera Pasai itu. Karena lazimnya untuk nama kerajaan-kerajaan
di Nusantara ini sebelum tahun 1500, diambil dari nama pohon, buah-buahan dan
lain sebagainya.
Seperti juga disebutkan dalam kedua hikayat tersebut di atas,
bahwa raja Samudera Pasai yang pertama sekali menganut agama Islam adalah Malik
As Salih. Pada nisan sultan ini yang dibuat dari batu graniet dapat diketahui
bahwa ia mangkat pada bulan Ramadhan tahun 696 H, yang diperkirakan bertepatan
dengan tahun 1297 M.Tentang bagaimana dan siapa yang mengembangkan agama Islam buat
pertama kali di kerajaan ini, Hikayat Raja-raja Pasai antara lain meyebutkan
sebagai berikut:
“…pada zaman Nabi Muhammad Rasul Allah salla’llahu ‘alaihi
wassalama tatkala lagi hajat hadhrat jang maha mulja itu, maka sabda ia pada
sahabat baginda di Mekkah, demikian sabda baginda: “Bahwa ada sepeninggalku itu
ada sebuah negeri di atas angin samudera namanja. Apabila ada didengar kabar
negeri itu maka kami suruh kamu sebuah kapal membawa perkakas dan kamu bawa ia
orang dalam negeri masuk agama Islam serta mengutjapkan dua kalimah sjahadat.
Sjahdan lagi akan didjadikan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam negeri itu
terbanjak daripada segala wali Allah djadi dalam negeri itu”.
Dan tentang pengislaman serta penggantian nama Raja Merah Silu
dengan nama yang baru Malikul Salih, hikayat itu juga memberi keterangan:
“Sebermula maka bermimpi Merah Silu dilihatnja dalam mimpinja itu
ada seorang-orang menumpang dagunya dengan segala djarinja dan matanja
ditutupnja dengan empat djarinja, demikian katanja: “Hai Merah Silu, udjar
olehmu dua kalimah Sjahadat”.
Maka sahut Merah Silu “Tiada hamba tahu mengutjap akan dia”.
Maka Udjarnya: “Bukakan mulutmu”. Maka dibukanja mulut Merah Silu,
maka diludahinja mulut merah silu itu rasanya lemak manis. Maka udjarnja akan
merah silu “Hai Merah Silu engkaulah Sultan Malikul’-Saleh namamu sekarang
Islamlah engkau dengan mengutjap dua kalimah itu…”
Hikayat itu juga menyebutkan bahwa orang yang
menyebarkan/mengislamkan Sultan Samudera Pasai itu adalah salah seorang sahabat
Nabi Muhammad Rasul Allah Salla’llahu’alaihi wasallam, yaitu seorang Syarif
berasal dari Mekah yang bernama Syarif Syaih Ismail .
Selain menurut hikayat tersebut, tradisi setempat juga menyebutkan
bahwa raja pertama yang memeluk agama Islam di wilayah itu adalah Sultan Malik
Al Salih. Tetapi menurut catatan atau suatu sumber yang dimiliki oleh M. Junus
Jamil, menyebutkan bahwa pada awal bulan Zulkaidah 610 Hijrah (1213 M), telah
meninggal di kerajaan itu (Samudera Pasai) seorang Wazir Sultan Al Kamil yang
bernama Maulana Quthubulma’ali Abdurrahman Al Pasi. Kalau sumber ini benar maka
keterangan tersebut bermakna bahwa jauh sebelum Malik As Salih sudah terdapat
sultan yang memeluk agama Islam di kerajaan itu. Seperti telah disebutkan bahwa
raja Samudera Pasai yang pertama berdasarkan sumber sejarah yang konkrit ialah
Malik As Salih yang meninggal tahun 1297. Kalau dalam tahun 1297, kita kenal
sebagai tahun kematian raja itu, tentunya masyarakat Islam di kerajaan itu
telah terdapat jauh sebelumnya. Karena pertumbuhan sesuatu biasanya menghendaki
suatu proses, suatu tempo yang lama.
Demikian juga dari keterangan yang
diberikan Hikayat Raja-raja PasaiI seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa
Nabi Muhammad telah menyebutkan nama kerajaan Samudera dan juga agar penduduk
kerajaan itu diislamkan oleh salah seorang sahabat beliau, maka bukan tidak
mungkin Islam sudah masuk ke kerajaan itu tidak lama sesudah Nabi Muhammad
wafat. Jadi pada sekitar abad pertama Hijrah atau bertepatan dengan abad
ketujuh/kedelapan tahun Masehi. Dan dapat pula diperkirakan bahwa Islam yang
masuk itu langsung datang dari Mekah.
Bukanlah maksud penulis di sini untuk membuat suatu uraian panjang
lebar tentang masalah proses masuknya Islam ke Kerajaan Samudera Pasai.
Sebagaimana telah penulis singgung pada awal tulisan ini, adalah masih sangat
sukar untuk merekonstruksikan sejarah kerajaan-kerajaan di wilayah Indonesia
pada periode sebelum tahun 1500, oleh karena bukti sejarah tentang hal itu
masih belum memadai. Di sini penulis hanya mencoba merangkaikan suatu gambaran
sejarah berdasarkan tulisan-tulisan yang telah ada tentang kerajaan itu. Maka
untuk mendapat suatu gambaran historis dari perkembangan Kerajaan Islam
Samudera Pasai, berikut ini akan ditinjau beberapa aspek, terutama tentang
sistem sosio kulturil yang penulis perkirakan berlaku di kerajan itu.
Seperti diketahui, Samudera Pasai adalah sebuah kerajaan yang
bercorak Islam dan sebagai pimpinan tertinggi kerajaan berada di tangan sultan
yang biasanya memerintah secara turun temurun. Lazimnya kerajaan-kerajaan
pantai atau kerajaan yang berdasarkan pada kehidupan/kejayaan maritim yang
termasuk dalam struktur kerajaan tradisionil kerajaan-kerajaan Melayu, seperti
kerajaan Islam Samudera Pasai, disamping terdapat seorang sultan sebagai
pimpinan kerajaan, terdapat pula beberapa jabatan lain, seperti Menteri Besar
(Perdana Menteri atau Orang Kaya Besar), seorang Bendahara, seorang Komandan
Militer atau Panglima Angkatan laut yang lebih dikenal dengan gelar Laksamana,
seorang Sekretaris Kerajaan, seorang Kepala Mahkamah Agama yang dinamakan Qadi,
dan beberapa orang Syahbandar yang mengepalai dan mengawasi pedagang-pedagang
asing di kota-kota pelabuhan yang berada di bawah pengaruh kerajaan itu.
Biasanya para Syahbandar ini juga menjabat sebagai penghubung antara sultan dan
pedagang-pedagang asing.
Sebagaimana lazimnya sebuah kerajaan maritim, Kerajaan Islam
Samudera Pasai dapat berkembang karena mempunyai suatu kekuatan angkatan laut
yang cukup besar menurut ukuran masa itu dan mutlak diperlukan untuk mengawasi
perdagangan di wilayah kekuasaannya. Dan karena sebagai kerajaan maritim,
kerajaan ini sedikit sekali mempunyai basis agraris yang hanya diperkirakan
berada sekitar sebelah –menyebelah sungai Pasai dan sungai Peusangan saja,
dimana terdapat sejumlah kampung-kampung (meunasah-meunasah) yang merupakan
unit daripada bentuk masyarakat terkecil di wilayah Samudera Pasai pada waktu
itu. Dan selain itu meunasah-meunasah ini merupakan lembaga-lembaga
pemerintahan terkecil pula dari Kerajaan Samudera Pasai pada waktu itu.
Pengawasan terhadap perdagangan dan pelayaran di kota-kota pantai
yang berada di bawah pengaruh Kerajaan Samudera Pasai merupakan sendi-sendi
kerajaan yang memungkinkan kerajaan memperoleh penghasilan dan pajak yang besar
selain upeti-upeti yang dipersembahkan oleh kerajaan-kerajaan di bawah
pengaruhnya. Perdagangan yang menjadi basis hubungan-hubungan yang tetap dengan
kerajaan-kerajaan luar seperti dengan Malaka, Cina, India dan sebagainya, telah
menjadikan Kerajaan Islam Samudera Pasai sebagai sebuah Kerajaan Islam yang
sangat terkenal dan berpengaruh di kawasan Asia Tenggara terutama pada abd ke
XIV dan XV. Karena kebesarannya itu, maka Kerajaan Islam Samudera Pasai telah
pula dapat mengembangkan penyiaran agama Islam ke wilayah-wilayah lainnya di
Nusantara pada waktu itu.
Diantaranya ke Minangkabau, Palembang, Jambi, Patani, Malaka, Jawa
dan beberapa kerajaan pantai di sekitarnya.
Pada abad ke XIV Kerajaan Islam
Samudera Pasai menjadi pusat studi agama Islam dan juga tempat berkumpul
ulama-ulama dari berbagai negara Islam untuk berdiskusi tentang masalah-masalah
keduniawian dan keagamaan. Berdasarkan berita dari Ibn.Batutah, seorang
pengembara asal Maroko yang mengunjungi Samudera Pasai pada tahun 1345/6,
kerajaan ini berada pada puncak kejayaannya. Ibn-Batutah berada dikerajaan ini
selama dua minggu dan telah melihat banyak tempat ini(kraton Samudera Pasai),
mempunyai benteng di sekelilingnya. Dia telah diterima oleh wakil laksamana di
Balairung dan telah diberi persalinan menurut adat setempat. Pada hari ketiga
di sana Ibn Batutah mendapat kesempatan untuk menghadap sultan yang memerintah
pada ketika itu yaitu Sultan Malikul Zahir yang dianggapnya sebagai sultan yang
termasyur dan peramah. Selama di Samudera Pasai Ibn Batutah telah berjumpa dengan
tiga orang ulama terkenal, yang masing-masing bernama Amir Dawlasa berasal dari
Delhi (India), Kadi Amir Said berasal dari Shiraz dan Tajuddin berasal dari
Ispahan. Dan disebutkan bahwa sultan Samudera Pasai sangat suka berdiskusi
masalah-masalah agama dengan ulama-ulama itu.
Dengan melihat Samudera Pasai sebagai pusat studi dan pertemuan
para ulama seperti tersebut di atas dan sesuai dengan yang telah diutarakan
oleh Prof.A.Hasjmy, bahwa banyak sekali tokoh dan para ahli dari berbagai
disiplin pengetahuan yang datang dari luar seperti dari Persia (bagian dari
Daulah Abbasiyah) untuk membantu kerajaan Islam Samudera Pasai, maka dapat
dipastikan bahwa sistem dan organisasi pemerintahan di kerajaan itu, tentunya
seirama dengan sistem yang dianut oleh pemerintahan daulah Abbasiyah. Dan
menurut catatan Ibn Batutah, diantara pejabat tinggi Kerajaan Islam Samudera
Pasai yang ikut melepaskan sultan meninggalkan mesjid di hari Jum’at yaitu Al
Wuzara (para menteri) dan Ak Kuttab (para sekretaris) dan para pembesar lainnya
. Selain itu menurut catatan M.Yunus Jamil, bahwa pejabat-pejabat Kerajaan
Islam Samudera Pasai terdiri dari orang-orang alim dan bijaksana. Adapun
nama-nama dan jabatan-jabatan mereka adalah sebagai berikut:
- Seri Kaya Saiyid Ghiyasyuddin,
sebagai Perdana Menteri.
- Saiyid Ali bin Ali Al
Makaarani, sebagai Syaikhul Islam.
- Bawa Kayu Ali Hisamuddin Al
Malabari, sebagai Menteri Luar Negeri.
Dari catatan-catatan, nama-nama dan lembaga-lembaga seperti
tersebut di atas, Prof.A.Hasjmy berkesimpulan bahwa, sistem pemerintahan dalam
Kerajaan Islam Samudera Pasai sudah teratur baik, dan berpola sama dengan
sistem pemerintahan Daulah Abbasiyah di bawah Sultan Jalaluddin Daulah (416-435
H).
Untuk lebih mempererat hubungan antar kerajaan-kerajaan yang
berada di bawah pengaruh Samudera Pasai ditempuh pula lewat jalan perkawinan.
Dapat disebutkan di sini misalnya, perkawinan antara putri-putri dari Kerajaan
Perlak dengan sulthan-sulthan Kerajaan Samudera Pasai. Selain itu juga Raja
Malaka yang pertama Parameswara setelah memeluk agama Islam telah mempersunting
puteri Kerajaan Pasai sebagai isterinya. Dan dengan adanya perkawinan ini telah
meningkatkan pula hubungan perdagangan antara Malaka dengan Kerajaan Samudera
Pasai. Juga pada masa kejayaan kerajaan ini seorang ulama Pasai yang bernama
Fatahillah, telah melakukan dakwah Islam sampai ke Pulau Jawa. Dan setelah
mengislamkan Banten serta memperisteri putri dari kerajaan tersebut, kemudian
mendirikan suatu kesultanan di sana.
Berdasarkan beberapa mata uang emas yang disebut deureuham, yang
berhasil diketemukan sebagai sebagai salah satu peninggalan dari kerajaan itu,
menunjukkan bahwa kerajaan Islam Samudera Pasai cukup makmur pada kurun waktu
seperti tersebut di atas. Karena sebuah kerajaan yang dapat menerbitkan mata uang
emas sendiri pada masa itu, menandakan bahwa kerajaan itu cukup makmur menurut
ukuran masa itu. Mata uang emas Kerajaan Samudera Pasai ini telah diperkenalkan
pula oleh orang-orang kerajaan itu ke beberapa bandar perdagangan di Nusantara
pada waktu itu, diantaranya ke bandar Malaka.
Atas dasar mata uang emas yang pernah diketemukan itu, dapat
diketahui pula beberapa nama-nama raja yang pernah memerintah di Kerajaan Islam
Samudera Pasai. Menurut T. Ibrahim Alfian yang mendasarkan atas mata uang emas
tersebut, urutan-urutan raja yang memerintah di kerajaan tersebut adalah
sebagai berikut: sebagai sulthan yang pertama adalah sulthan Malik As Salih
yang memerintah pada tahun 1297. Sulthan ini diganti oleh puteranya yang
bernama Sulthan Muhammad Malik Az Zahir (1297-1326); sebagai sulthan yang
ketiga yaitu sulthan Mahmud Malik Az-Zahir (1326 ± 1345); sulthan yang keempat
adalah Mansur Malik Az-Zahir (?- 1346); sulthan yang kelima adalah Sulthan
Ahmad Malik Az-Zahir yang memerintah (ca. 1346-1383); sebagai sulthan yang
keenam yaitu Sulthan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir yang memerintah (1383-1405);
sulthan yang ketujuh yaitu Sultanah Nahrasiyah, yang memerintah (1405-1412);
sebagai sulthan yang kedelapan yaitu Sulthan Sallah Ad-Din yang memerintah
(ca.1402-?); sulthan yang kesembilan yaitu Abu Zaid Malik Az-Zahir (?-1455);
sebagai sulthan yang kesepuluh yaitu Mahmud Malik Az-Zahir, memerintah
(ca.1455-ca. 1477); sulthan yang kesebelas yaitu Zain Al-‘Abidin, memerintah
(ca.1477-ca.1500); sebagai sulthan yang sebagai kedua belas yaitu Abdullah
Malik Az-Zahir, yang memerintah (ca.1501-1513); dan sebagai sulthan yang
terakhir dari Kerajaan Islam samudera Pasai adalah Sulthan Zain Al’Abidin, yang
memerintah tahun 1513-1524.
Setelah tahun 1524, Kerajaan Islam Samudera Pasai berada di bawah
pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.
KESIMPULAN
Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh, dan merupakan kerajaan
Islam pertama di Indonesia. Kerajaan Samudera Pasai merupakan gabungan dari
Kerajaan Pase dan Peurlak, dengan raja pertama Malik al-Saleh. Kapan sebenarnya
Kerajaan Islam Samudera Pasai berdiri tidak ada suatu kepastian tahun yang
didapat. Menurut tradisi dan berdasarkan penyelidikan atas beberapa sumber
sementara, terutama yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat menyebutkan,
bahwa Kerajaan Islam Samudera Pasai baru berdiri pada pertengahan abad ke XIII,
dan sebagai pendiri kerajaan ini adalah Sultan Malik As Salih yang meninggal
pada tahun 1297. Seorang pendiri serta sultan yang pertama dari Kerajaan
Samudera Pasai ini adalah Maharaja Mahmud Syah, yang memerintah pada tahun
433-470 H atau bertepatan dengan tahun 1042-1078 M.
Samudera Pasai adalah sebuah kerajaan yang
bercorak Islam dan sebagai pimpinan tertinggi kerajaan berada di tangan sultan yang
biasanya memerintah secara turun temurun. Lazimnya kerajaan-kerajaan pantai
atau kerajaan yang berdasarkan pada kehidupan/kejayaan maritim yang termasuk
dalam struktur kerajaan tradisionil kerajaan-kerajaan Melayu, seperti kerajaan
Islam Samudera Pasai, disamping terdapat seorang sultan sebagai pimpinan
kerajaan, terdapat pula beberapa jabatan lain, seperti Menteri Besar (Perdana
Menteri atau Orang Kaya Besar), seorang Bendahara, seorang Komandan Militer
atau Panglima Angkatan laut yang lebih dikenal dengan gelar Laksamana, seorang
Sekretaris Kerajaan, seorang Kepala Mahkamah Agama yang dinamakan Qadi, dan
beberapa orang Syahbandar yang mengepalai dan mengawasi pedagang-pedagang asing
di kota-kota pelabuhan yang berada di bawah pengaruh kerajaan itu.
Pengawasan terhadap perdagangan dan pelayaran di
kota-kota pantai yang berada di bawah pengaruh Kerajaan Samudera Pasai
merupakan sendi-sendi kerajaan yang memungkinkan kerajaan memperoleh
penghasilan dan pajak yang besar selain upeti-upeti yang dipersembahkan oleh
kerajaan-kerajaan di bawah pengaruhnya. Perdagangan yang menjadi basis
hubungan-hubungan yang tetap dengan kerajaan-kerajaan luar seperti dengan
Malaka, Cina, India dan sebagainya, telah menjadikan Kerajaan Islam Samudera
Pasai sebagai sebuah Kerajaan Islam yang sangat terkenal dan berpengaruh di
kawasan Asia Tenggara terutama pada abd ke XIV dan XV.
Kemudian, untuk lebih mempererat hubungan antar
kerajaan-kerajaan yang berada di bawah pengaruh Samudera Pasai ditempuh pula
lewat jalan perkawinan. Dapat disebutkan di sini misalnya, perkawinan antara
putri-putri dari Kerajaan Perlak dengan sulthan-sulthan Kerajaan Samudera
Pasai. Dengan adanya perkawinan antara dua kerajaan ini, akhirnya terjadi peningkatkan hubungan perdagangan antara Malaka dengan
Kerajaan Samudera Pasai.
Berdasarkan beberapa mata uang emas yang disebut
deureuham, yang berhasil diketemukan sebagai sebagai salah satu peninggalan
dari kerajaan itu, menunjukkan bahwa kerajaan Islam Samudera Pasai cukup makmur
pada kurun waktu seperti tersebut di atas. Atas dasar mata uang emas yang
pernah diketemukan itu, dapat diketahui pula beberapa nama-nama raja yang
pernah memerintah di Kerajaan Islam Samudera Pasai. Menurut T. Ibrahim Alfian
yang mendasarkan atas mata uang emas tersebut, urutan-urutan raja yang
memerintah di kerajaan tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Sulthan Malik As Salih yang memerintah pada tahun 1297
2.
Sulthan Muhammad Malik Az Zahir (1297-1326
3.
Sulthan Mahmud Malik Az-Zahir (1326 ± 1345)
4.
Sulthan Mansur Malik Az-Zahir (?- 1346)
5.
Sulthan Ahmad Malik Az-Zahir yang memerintah (ca. 1346-1383)
6.
Sulthan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir yang memerintah (1383-1405
7.
Sultanah Nahrasiyah, yang memerintah (1405-1412
8.
Sulthan Sallah Ad-Din yang memerintah (ca.1402-?)
9.
Sulthan Abu Zaid Malik Az-Zahir (?-1455)
10. Sulthan Mahmud Malik
Az-Zahir, memerintah (ca.1455-ca. 1477)
11. Sulthan Zain Al-‘Abidin,
memerintah (ca.1477-ca.1500)
12. Sulthan Abdullah Malik
Az-Zahir, yang memerintah (ca.1501-1513)
13. Sulthan Zain Al’Abidin, yang
memerintah tahun 1513-1524
Setelah tahun 1524, Kerajaan Islam Samudera Pasai berada di bawah
pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.
budaya
|
0 comments: